Harum
tanah yang menyeruak di hidungku selalu menjadi ciri khas setelah hujan turun.
Cipratan air menyentuh kaca jendela yang membentuk embun. Tak sedikit air yang
menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, hingga aku menikmatinya. Mungkin
untuk sebagian banyak orang akan menikmati situasi ini dengan ditemani segelas
teh panas atau untuk rermaja seusiaku lebih menyukai secangkir kopi. Namun aku tak menyukai keduanya. Aku lebih
menyukai bermain bersama embun-embun yang ada di jendela kamar menggunakan
jemariku. Ya, aku sangat menyukai hujan. Adil rasanya melihat semua orang
bernasib sama sepertiku. Terjebak oleh satu garis yang datang secara keroyokan.
“Ayo
kita mulai latihannya.”
Aku
menoleh tanpa melepaskan jemari-jemariku yang sedang asyik membentuk sebuah
gambar.
“Ibu
sudah datang…” Lirihku kepada guru les
piano ku, Bu Maudy.
Aku
berjalan menghampirinya dengan kaki telanjang menyentuh lantai marmer yang
tentu saja terasa dingin sekali.
“Maaf ibu terlambat.” Ucapnya seraya membereskan baju yang
dikenakannya karena terkena cipratan air hujan.
“Tidak seharusnya ibu datang, di
luar hujan deras.”
“Itu tidak akan menjadi masalah.”
Jawabnya dengan senyum yang bersahabat.
Kami
berjalan ke arah ruang musik yang letaknya tak jauh dari kamarku.
“Ada kesulitan di lirik baru yang
ibu berikan?”
Langkahku
terhenti. Bu Maudy menoleh dan secara otomatis langkahnya pun ikut terhenti.
“Aku ingin datang ke tempat ibu
mengajar…” Ucapku mengabaikan pertanyaanya.
“Please bu, aku bosan. Bosan dengan
suasana yang begini saja…” Sambungku.
“Tapi di luar hujan, kamu juga tahu
di luar hujannya sangat deras.”
“Seperti yang ibu bilang, itu tidak
akan menjadi masalah.”
“Tapi, tidak untukmu Kalangi.”
Tegasnya.
“Aku mohon, lagipula di luar tidak
ada panas matahari...” Tukasku terus mengolo-olo dengan tampang memelas.
“Baiklah, tunggu sebentar.”
Ia
mencari sesuatu dari dalam tas nya. Dan ternyata yang ia cari adalah
handphone. Segera aku merebut handphone
yang dipegangnya, dan kusembunyikan di belakang tanganku.
“Ibu tak perlu repot-repot meminta
izin Ayah atau Bunda. Itu sama saja bohong.”
“Tapi…”
“Ibu tunggu sebentar ya! Aku ganti
baju dulu. Tunggu ya!” Ucapku dengan langkah mundur dan cepat-cepat menuju
kamar. Akhirnya!!!! Aku keluar rumah yeay!!! Rasanya ingin aku berteriak dari
atap monas sekencang-kencangnya. Mungkin bagi kalian keluar rumah bukanlah hal
yang aneh. Tapi bagiku menurut seorang Kalangi, ini adalah hal yang paling
dilarang. Bukan cupu ataupun kuper, sebut saja aku ini cewek penyakitan.
Entahlah, aku pun tak pernah tahu apa nama penyakitku. Aku hanya tahu resiko
apa yang akan menimpaku jikalau aku nekad melakukan hal-hal yang tidak harus
aku lakukan. Dan aku tidak mau tahu apa penyakit yang menggerogoti tubuhku
sehingga aku tidak bisa menikmati nikmatnya panas matahari selamanya. Selamanya.
Seumur hidup. Mungkin kalian hanya bisa membayangkan begitu membosankan
hidupku. Ya, kalian hanya bisa membayangkan tanpa bisa merasakan.
Aku
mendapati diriku di dalam taksi menuju sekolah seni tempat Bu Maudy mengajar.
Di luar begitu gloomy, sama seperti nasibku. Aku sengaja meminta Pak Budi agar
tidak mengantarku, supaya aku bisa berlama-lama di luar rumah. Aku tak boleh
menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Kita sudah sampai.”
Aku
mengerling mengedarkan pandangan. “Ayo kita masuk!” Ujarku semangat.
Dengan
langkah perlahan, aku mengikuti alunan sepatu yang dikenakan Bu Maudy.
“Halo ibu.” Sapa seseorang yang
kira-kira sebaya denganku. Aku menduga itu adalah salah satu murid Bu Maudy.
“Hai Erika.” Bu Maudy membalasnya.
Namanya Erika. Aku hanya membalas dengan seulas senyuman saat anak itu
bergantian menatapku. Mungkin ia merasa asing denganku yang baru ia lihat di
tempat ini.
“Bu aku butuh toilet.” Ucapku di
tengah perjalanan menuju kelas.
“Mau ibu antar? Toiletnya ada
disebelah kelas balet di ujung sana.”
“Ok, nanti aku akan menyusul ibu ke
kelas.”
Segera
aku berlari kecil menuju toilet. Sebenarnya sudah setengah jam aku menahannya.
Uhh lega rasanya.
Sebelum
aku meninggalkan toilet, aku menyempatkan diri untuk mematut diri di depan
cermin. Ini yang selalu aku lakukan, seolah-olah menjadi hal wajib yang tak
boleh ditinggalkan. Namun bukan untuk berdandan seperti halnya kebanyakan
wanita, aku hanya akan memerhatikan wajahku. Wajahku yang begitu pucat pasi,
ditambah lingkaran hitam yang ada di sekitar mata ku. Sepertinya sebentar lagi
aku akan menjadi turunan Edward Cullen dan Bella Swan. Ah tidak, itu terlalu
bagus.
Saat
aku mematut diri, terlihat dibelakangku seorang laki-laki keluar dari balik
pintu. Aku mendongak kaget. Mana ada pria berada di dalam toilet wanita?
Hal-hal
negatif terus berkelabat di pikiranku. Tak terasa, langkahku dengan perlahan
mundur seketika saat laki-laki itu memandangku dengan tatapan….aneh! Aku pastikan
bahwa wajahku sekarang sudah seperti mayat hidup.
“Kamu mau apa…” Ucapku
terbata-bata.
Laki-laki
itu terlihat heran dengan sikapku yang begitu ketakutan, itu bisa terlihat dari
ekspresinya saat mengernyitkan dahi.
Harusnya
aku bisa lari secepat mungkin meninggalkan laki-laki itu dengan kekuatan super
duper maksimal, namun kaki ku terasa berat. Dan ternyata aku sudah mendapati
diriku di ujung tembok, sehingga aku tidak bisa melangkah mundur lagi. Tapi
laki-laki itu terus mendekat. Aku hanya bisa berdo’a di dalam hati. Memanjatkan
segala do’a dan segala permintaan sebelum aku berada di dunia lain.
“Jangan takut, aku tidak berbahaya
seperti apa yang kamu pikirkan.” Ujarnya. Seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Aku
hanya bisa berdiam diri, berharap ada seseorang yang menolongku. Aku merasa
kakiku mulai bergetar hebat.
“Kamu sakit? Kenapa tidak ada yang
menemanimu saat kamu sakit begini? Tak seharusnya kamu berada sendirian,
apalagi ini di toilet pria.” Sambungnya. Dia melihatnya. Melihat kaki ku yang
bergetar dengan hebatnya.
Tunggu!
Dia bilang toilet pria? Apa maksudnya? Aku mengedarkan pandanganku, Ya Tuhan!
Demi apapun aku tak akan memaafkan diriku. Rasanya aku ingin segera menggali
tanah dan dikuburkannya aku secara hidup-hidup. Aku tidak tahu bagaimana
menyembunyikan perasaan yang memalukan ini.
Aku
segera berlari meninggalkan toilet. Dengan langkah cepat tanpa memperdulikan
laki-laki itu. Aku terkulai lemas di kursi.
“Bisa kita mulai?” Ucap Bu Maudy.
Aku
sebisa mungkin mengatur napasku yang begitu terengah-engah. Ok, lupakan
kejadian tadi. Anggap saja badai.
“Tentu saja.”
Aku
mulai menekan tuts piano yang mulai melantunkan lagu If ain’t got you.. Aku terbawa oleh lantunan suara piano yang tentu
saja diiringi oleh suaraku. Dan suaraku
mulai stabil lagi, tak ada suara gemetar seperti hal nya tadi di tempat
memalukan yang tak akan bisa aku lupakan seumur hidup.
Terdengar
suara tepuk tangan yang sangat ganjil di telingaku. Saat aku mencoba membuka
mata…
“Suaramu luar biasa.”
Damn!
Si laki-laki penghuni toilet itu! Mau apa dia kemari? Apa belum puas dia
mempermalukanku?
“Kenapa kamu ada disini? Mana Bu
Maudy?” Tanyaku ketus.
“Dia ada di lantai bawah, ada
keperluan. Dipanggil Pak Rahadi.”
Setelah
itu tidak ada percakapan lagi antara kami. Hening panjang mengisi ruangan. Aku
pura-pura sibuk dengan kertas-kertas yang berhamburan sekenanya.
“Kenapa kamu terlihat begitu takut
terhadapku?” Tanyanya memecahkan keheningan.
“Aku hanya tidak biasa dengan orang
asing yang baru aku kenal.”
Itu
adalah alasan yang tepat untuk menutupi rasa malu ku. Laki-laki itu hanya
tersenyum mendengar apa yang aku ucapkan. Aku tak mengerti apa maksud dari
senyuman itu.
“Maaf Kalangi, ibu tadi ada
keperluan sebentar.” Terdengar sumber suara dari arah pintu. Kontan aku pun menoleh.
“No problem.” Ucapku dengan perasaan
lega.
“Bu, aku rasa cukup sampai disini
latihannya. Tiba-tiba aku tidak enak badan.” Sambungku. Ya, itu hanya alasan
belaka agar aku bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Lebih tepatnya agar
tidak ada pertemuan lagi antara aku dengan laki-laki si penghuni toilet.
“Baiklah, ibu akan mengantarmu
pulang.”
“Tidak usah! Aku bisa sendiri,
lagian aku hafal jalannya.” Tukasku. Jelas aku menolak. Di depanku ada
laki-laki si penghuni toilet dan aku tidak mau disebut sebagai penakut setelah
apa yang terjadi hari ini. Bisa-bisa label penakut akan terus melekat di
tubuhku.
“Aku pamit bu.” Sambungku
terburu-buru. Aku tidak mau Bu Maudy sampai mengantarku pulang. Seperti yang
aku bilang, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini.
Di
luar masih hujan. Genangan air terus menaik. Inilah suka dukanya tinggal di
kota metropolitan, saluran air yang sedikit memungkinkan air menaik dan merambat
ke jalan. Belum lagi sampah-sampah yang menyumbat saluran air.
Aku
membuka payung yang sengaja aku bawa dari rumah. Tadinya aku ingin mampir ke
toko buku terlebih dulu, namun hujan semakin deras dan petir menggelegar
memekakan telinga.
Aku
pun menepi disebuah warung kopi yang letaknya tak jauh dari tempat Bu Maudy
mengajar.
Suhu
udara pun semakin dingin. Aku mulai kedinginan karenanya. Meskipun aku memakai
baju lengan panjang, tetap saja udara dingin menghampiri tubuhku. Aku mulai
menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk sekedar menghangatkan.
“Kamu itu terlalu nekad Kalangi.”
Kontan
aku menoleh pada seseorang yang menyebut namaku. Astaga! Laki-laki si penghuni
toilet itu! Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku harus bertemu beberapa kali
dengan orang ini. Memang, mungkin hanya dua kali. Namun, memergoki seorang
wanita yang sedang berada di toilet pria, apa itu tidak memalukan? Jelas saja
memalukan! Sangat memalukan! Wajar saja aku sangat menghindari pertemuan dengan
si laki-laki penghuni toilet ini.
“Apa maksudmu mengikutiku kemari?”
“Aku tidak mengikutimu.” Perasaan
malu segera merambat di benakku. Harusnya aku menghiraukannya, alhasil sekarang
aku semakin dibuat malu olehnya.
“Nih, untuk menghangatkan badanmu.”
Ujarnya. Dia menyodorkan segelas susu coklat. Sial! Itu minuman kesukaanku dan
aku tak mungkin menolak. Tapi meskipun itu minuman kesukaanku, aku bukanlah
anak TK yang bisa diatur dengan hal-hal kecil yang disukai. Aku tetap waspada.
“Tidak ada racun, narkoba, ataupun
bom. Tenang saja.” Lagi-lagi dia seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Karena
memang udara semakin dingin, aku tidak mungkin terus berpura-pura. Lagipula,
hati kecilku mengatakan laki-laki ini anak baik. Sejauh peristiwa salah toilet,
dia tak berani macam-macam. Menyentuhku pun tidak. Dan aku tidak mau mati
konyol disebuah warung kopi karena kedinginan.
Kuraih
susu coklat itu dan mulai meniupnya secara perlahan lalu menyeruputnya. Begitu hangat.
“Baru kali ini aku menemukan sebuah
warung kopi yang menjual segelas susu.” Ucapku memecahkan suara hujan.
“Ya, hal yang tak terduga bisa
terjadi dimana saja”
“Seperti sekarang, aku bertemu
dengan penghuni toilet yang terus mengikutiku.” Tawa ku getir.
“Itu kehendak Tuhan, rencana awal
Tuhan. Bukan sebuah kebetulan, Kalangi.”
Sekilas
kami bertatapan dan sontak tawa kami memecah hujan. Kehangatan menjalar di
tubuhku. Sorot mata tajam dan senyum yang terasa….mmm ya aku harus mengakui
laki-laki dihadapanku ini memang tampan. Gigi yang berjejer rapi membuat
senyumnya semakin memikat. Aku berani taruhan, wanita manapun yang melihat
senyumnya pasti akan bertekuk lutut. Postur tubuh yang menjulang tinggi
menandakan laki-laki ini pasti sering berolahraga. Begitu professional dan
terlihat sangat maskulin.
Perbincangan
kami sudah semakin jauh. Jujur aku sangat menikmatinya. Ada rasa nyaman yang terselip
saat kami tertawa bersama. Perbincangan itu membawaku pulang ke rumah dengan
diantar olehnhya. Ternyata berbincang-bincang dengannya membuatku lupa akan
sekitar. Sekitar yang semakin gelap menandakan hari berganti malam.
“Jadi mulai sekarang aku harus
memanggilmu Sam?” Ujarku sembari membuka helm.
“Yap!”
“Kedengarannya sedih ya…”
“Kenapa?”
“Aku harus merelakan kepergian si
penghuni toilet..” Di dalam hati aku sudah berhitung mundur, sebentar lagi helm
yang dipegang si penghuni toilet itu akan mendarat di kepalaku. Eh, maksudku
Sam.
“Kalangi bisa kurang ajar juga ya
ternyata.” Ujarnya sinis dengan senyum yang merekah. Menandakan bahwa dia
memakan umpan candaanku.
Aku
berlari dan memasuki halaman rumah.
“Kalangi.” Teriaknya.
Kontan
aku menoleh ke arahnya.
“Sampai jumpa besok.”
“Ok, see you again.” Ucapku melempar
senyum dan melambaikan tangan.
Hahhhhh!
Hari yang takan pernah aku lupakan. Aku terjun bebas ke ranjangku. Begitu
menyebalkan dan menyenangkan. Aku selalu percaya dengan pernyataan menderita
dan bahagia itu satu paket. Aku mulai memikirkan sejak awal pertemuanku dengan
Sam. Sampai jumpa besok? Apa maksudnya? Aku pun terlelap dengan segala
pikiranku, ada seulas senyum yang menemani tidurku.
Dering
handphone mengusik bunga tidurku. Siapa yang menelponku? Kudapati di luar
begitu cerah, segar sekali rasanya. Ternyata sudah jam 7. Aku melirik ponselku
yang sedari tadi terus berisik. Nomor tidak dikenal, seperti nomor kantor.
Mungkin diantara Ayah atau Bunda menelfon lewat kantor, memberitahuku bahwa
mereka sudah tiba di Indonesia. Mereka memang sibuk.
“Halo.” Kuawali percakapan dengan
nada yang masih mengantuk.
“Kalangi, cepat keluar.” Aku
langsung terbelakak, Sam!
“Misterius sekali memakai nomor
kantor.”
“Aku menelfon di wartel sebrang
rumahmu.”
“Apa?!” Rasa kantuk yang tadinya
masih menjalar, hilang seketika.
“Iya, aku tunggu.”
“Tapi, aku ada jadwal belajar untuk
hari ini.” Protesku.
“Hari ini giliran aku yang akan
menjadi gurumu.”
“Hah?!!” Aku semakin tidak mengerti apa yang diucapkannya, aku curiga dia mengigau karena efek hari senin. Ya hari senin yang selalu menjadi bahan bully untuk para pelajar.
“Hah?!!” Aku semakin tidak mengerti apa yang diucapkannya, aku curiga dia mengigau karena efek hari senin. Ya hari senin yang selalu menjadi bahan bully untuk para pelajar.
“Sudahlah. Kamu cepat bersiap-siap,
aku tunggu.”
Terdengar
nada putus di ujung telepon. Aku semakin melongo tidak mengerti. Segera kuintip
lewat jendela, memastikan bahwa Sam tidak mengerjaiku. Seperti biasa dia selalu
tau apa yang aku pikirkan. Lambaian tangan dan senyum yang merekah terlihat di
raut wajahnya saat aku mengintip lewat jendela. Sam!!!!!
Aku
segera bersiap-siap. Mengguyur tubuhku dengan air dingin. Belum pernah aku
mandi sepagi ini. Biasanya aku akan mandi di jam 9. Aku memang tidak seperti
anak lainnya, jadwalku sudah ditentukan oleh Dokter. Dokter yang menanganiku.
Memang terlihat santai karena aku menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah.
Home schooling, dan asupan pendidikan lainnya dibuat private. Sekedar untuk
memanjakan diri seperti halnya di salon pun, dilakukan di rumah.
Balutan
kaus panjang membalut tubuhku. Di luar terik… ah sudahlah, hanya sekali saja
mungkin tak akan berdampak besar.
“Kalangi, Kalangi” Terdengar ketukan
kaca dari balik jendela. Sam.
“Ayo cepat.” Ujarnya serasa berusaha
menarikku keluar lewat jendela.
“Jadi, kamu mau mengajakku kabur?”
“Suttttt! Aku kan sudah bilang, aku
kesini akan mengajakmu belajar.” Bisiknya dengan volume nyaris tak bisa aku
dengar saking kecilnya.
“Tapi belajar apa?” Ucapku dengan
nada yang meninggi. Bi Ina yang sedang di kebun nyaris menangkap basah kami
yang sedang mengendap-endap di balik semak-semak. Dengan sigap Sam membekapku.
Terus membekapku hingga kami berhasil kabur.
“Ayo!” Sam menyodorkan helm.
Aku
mencegat tangannya. “Aku belum tahu apa maksudmu ini.”
“Aku akan mengajakmu ke bazar
makanan.” Jelasnya.
“Dengan membolos sekolah? Mana ada
seorang Dokter bolos sekolah.” Sindirku. Cita-cita Sam memang menjadi seorang
Dokter. Dokter bedah katanya.
Dia
cepat menarikku menaiki motornya, dengan kilat dia sudah menjalankan dengan
kecepatan maksimum. Secara refleks aku memegang pinggangnya erat-erat. Awalnya
aku memang kesal dengannya, namun entah apa yang membuatku bungkam seperti saat
ini.
Panas
matahari mulai menyorot tubuhku. Ah, tidak ada apa-apa. Melihat kondisiku
seperti ini aku yakin akan baik-baik saja, terlebih aku tidak merasakan apa-apa
dengan tubuhku.
Mataku
bersinar ketika melihat stand bazar yang berjejer. Aku sangat menyukai tatkala
diadakannya bazar makanan. Mengingatkanku pada kota Seoul, Korea. Bedanya, di
Seoul biasanya diadakan pada musim dingin, sehingga aku bisa mencicipi semua
stand yang ada. Sedangkan di negaraku ini, aku baru akan merasakan. Selalu dan
selalu. Faktor iklim yang selalu menghalangiku.
Aku
segera menarik tangan Sam untuk bergabung dengan kerumunan orang yang terlihat
seperti semut. Aku akan mencicipi semua stand yang ada. Pasti!
“Kamu menyukainya?”
Aku
mengangguk. “Aku tidak akan sehisteris ini jika aku tidak menyukainya, Sam.”
Seulas
senyum mengembang di bibir Sam.
“Ayo kita cicipi semua stand yang
ada, jika perlu kita habiskan semua!!!” Teriak Sam dengan tangan dikepal diacungkan
ke langit.
“Pasti!” Balasku semangat.
Aku
tak pernah sebahagia ini. Aku memang pernah merasakan rasa bahagia, namun itu
hanya selingan. Ketika aku masih kecil. Ketika aku belum mengenal diriku, belum
mengenal seluk-beluk yang ada di dalam diriku. Bersamanya, aku merasakan lagi
apa itu rasa bahagia. Iya, Sam. Seolah-olah dia mengenalkan kembali apa itu
bahagia. Lebih tepatnya dia membawa rasa bahagia itu untukku.
Rasa
panas mulai terasa ditubuhku. Sedikit demi sedikit bintik-bintik merah
menjalari tubuhku. Aku tahu ini bagian dari dampak penyakitku. Entahlah, untuk
saat ini aku tidak mau memikirkan hal itu. Aku terus meyakinkan diriku akan
baik-baik saja.
Tak
terasa sudah ada bintang di langit. Bintang yang hari ini ditemani bulan,
begitu indah.
Selanjutnya,
Sam membawaku ke suatu tempat dengan menutup mataku. Padahal aku tahu, dia
membawaku ke tepi pantai. Bagaimana tidak? Begitu jelas suara ombak terdengar
bergemuruh dan tenang. Dasar Sam. Dia memang tak berbakat jadi pria romantis.
“Sam….” Aku kaget dengan apa yang
aku lihat setelah sadar ternyata Sam sudah membukakan penutup mataku. Gelap!
“Sam!!!!” Aku mulai berteriak. Ada
rasa takut yang aku rasakan.
“Tenang Kalangi.” Terdengar suara
yang berasal dari belakangku.
Terlihat
Sam memegangi sebatang lilin merah. Lilin merah yang memancarkan cahaya redup.
Sam
meniup lilin itu, dan sebuah kecupan mendarat di keningku.
“What a wonderful night. I feel like
today, and I love you Kalangi.” Suara itu menggetarkan telinga dan hatiku. Aku
merasakan begitu hangat dekapan tubuhnya. Seulas senyum mengembang manis di
bibirku. Pipiku terasa basah oleh air mata. Ya, air mata bahagia.
“I love you too, Sammy.” Itulah kata
yang terakhir aku ucapkan. Sebelum semuanya menjadi putih.
Kategori: Fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar