Selasa, 27 November 2012

Fight First Love



Harum tanah yang menyeruak di hidungku selalu menjadi ciri khas setelah hujan turun. Cipratan air menyentuh kaca jendela yang membentuk embun. Tak sedikit air yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, hingga aku menikmatinya. Mungkin untuk sebagian banyak orang akan menikmati situasi ini dengan ditemani segelas teh panas atau untuk rermaja seusiaku lebih menyukai secangkir kopi.  Namun aku tak menyukai keduanya. Aku lebih menyukai bermain bersama embun-embun yang ada di jendela kamar menggunakan jemariku. Ya, aku sangat menyukai hujan. Adil rasanya melihat semua orang bernasib sama sepertiku. Terjebak oleh satu garis yang datang secara keroyokan.
“Ayo kita mulai latihannya.”
Aku menoleh tanpa melepaskan jemari-jemariku yang sedang asyik membentuk sebuah gambar.
“Ibu sudah datang…”  Lirihku kepada guru les piano ku, Bu Maudy.
Aku berjalan menghampirinya dengan kaki telanjang menyentuh lantai marmer yang tentu saja terasa dingin sekali.
            “Maaf ibu terlambat.”  Ucapnya seraya membereskan baju yang dikenakannya karena terkena cipratan air hujan.
            “Tidak seharusnya ibu datang, di luar hujan deras.”
            “Itu tidak akan menjadi masalah.” Jawabnya dengan senyum yang bersahabat.
Kami berjalan ke arah ruang musik yang letaknya tak jauh dari kamarku.
            “Ada kesulitan di lirik baru yang ibu berikan?”
Langkahku terhenti. Bu Maudy menoleh dan secara otomatis langkahnya pun ikut terhenti.
            “Aku ingin datang ke tempat ibu mengajar…” Ucapku mengabaikan pertanyaanya.
            “Please bu, aku bosan. Bosan dengan suasana yang begini saja…”  Sambungku.
            “Tapi di luar hujan, kamu juga tahu di luar hujannya sangat deras.”
            “Seperti yang ibu bilang, itu tidak akan menjadi masalah.”
            “Tapi, tidak untukmu Kalangi.” Tegasnya.
            “Aku mohon, lagipula di luar tidak ada panas matahari...” Tukasku terus mengolo-olo dengan tampang memelas.
            “Baiklah, tunggu sebentar.”
Ia mencari sesuatu dari dalam tas nya. Dan ternyata yang ia cari adalah handphone.  Segera aku merebut handphone yang dipegangnya, dan kusembunyikan di belakang tanganku.
            “Ibu tak perlu repot-repot meminta izin Ayah atau Bunda. Itu sama saja bohong.”
            “Tapi…”
            “Ibu tunggu sebentar ya! Aku ganti baju dulu. Tunggu ya!” Ucapku dengan langkah mundur dan cepat-cepat menuju kamar. Akhirnya!!!! Aku keluar rumah yeay!!! Rasanya ingin aku berteriak dari atap monas sekencang-kencangnya. Mungkin bagi kalian keluar rumah bukanlah hal yang aneh. Tapi bagiku menurut seorang Kalangi, ini adalah hal yang paling dilarang. Bukan cupu ataupun kuper, sebut saja aku ini cewek penyakitan. Entahlah, aku pun tak pernah tahu apa nama penyakitku. Aku hanya tahu resiko apa yang akan menimpaku jikalau aku nekad melakukan hal-hal yang tidak harus aku lakukan. Dan aku tidak mau tahu apa penyakit yang menggerogoti tubuhku sehingga aku tidak bisa menikmati nikmatnya panas matahari selamanya. Selamanya. Seumur hidup. Mungkin kalian hanya bisa membayangkan begitu membosankan hidupku. Ya, kalian hanya bisa membayangkan tanpa bisa merasakan.
Aku mendapati diriku di dalam taksi menuju sekolah seni tempat Bu Maudy mengajar. Di luar begitu gloomy, sama seperti nasibku. Aku sengaja meminta Pak Budi agar tidak mengantarku, supaya aku bisa berlama-lama di luar rumah. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan  ini.
            “Kita sudah sampai.”
Aku mengerling mengedarkan pandangan. “Ayo kita masuk!” Ujarku semangat.
Dengan langkah perlahan, aku mengikuti alunan sepatu yang dikenakan Bu Maudy.
            “Halo ibu.” Sapa seseorang yang kira-kira sebaya denganku. Aku menduga itu adalah salah satu murid Bu Maudy.
            “Hai Erika.” Bu Maudy membalasnya. Namanya Erika. Aku hanya membalas dengan seulas senyuman saat anak itu bergantian menatapku. Mungkin ia merasa asing denganku yang baru ia lihat di tempat ini.
            “Bu aku butuh toilet.” Ucapku di tengah perjalanan menuju kelas.
            “Mau ibu antar? Toiletnya ada disebelah kelas balet di ujung sana.”
            “Ok, nanti aku akan menyusul ibu ke kelas.”
Segera aku berlari kecil menuju toilet. Sebenarnya sudah setengah jam aku menahannya. Uhh lega rasanya.
Sebelum aku meninggalkan toilet, aku menyempatkan diri untuk mematut diri di depan cermin. Ini yang selalu aku lakukan, seolah-olah menjadi hal wajib yang tak boleh ditinggalkan. Namun bukan untuk berdandan seperti halnya kebanyakan wanita, aku hanya akan memerhatikan wajahku. Wajahku yang begitu pucat pasi, ditambah lingkaran hitam yang ada di sekitar mata ku. Sepertinya sebentar lagi aku akan menjadi turunan Edward Cullen dan Bella Swan. Ah tidak, itu terlalu bagus.
Saat aku mematut diri, terlihat dibelakangku seorang laki-laki keluar dari balik pintu. Aku mendongak kaget. Mana ada pria berada di dalam toilet wanita?
Hal-hal negatif terus berkelabat di pikiranku. Tak terasa, langkahku dengan perlahan mundur seketika saat laki-laki itu memandangku dengan tatapan….aneh! Aku pastikan bahwa wajahku sekarang sudah seperti mayat hidup.
            “Kamu mau  apa…”    Ucapku terbata-bata.
Laki-laki itu terlihat heran dengan sikapku yang begitu ketakutan, itu bisa terlihat dari ekspresinya saat mengernyitkan dahi.
Harusnya aku bisa lari secepat mungkin meninggalkan laki-laki itu dengan kekuatan super duper maksimal, namun kaki ku terasa berat. Dan ternyata aku sudah mendapati diriku di ujung tembok, sehingga aku tidak bisa melangkah mundur lagi. Tapi laki-laki itu terus mendekat. Aku hanya bisa berdo’a di dalam hati. Memanjatkan segala do’a dan segala permintaan sebelum aku berada di dunia lain.
            “Jangan takut, aku tidak berbahaya seperti apa yang kamu pikirkan.” Ujarnya. Seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Aku hanya bisa berdiam diri, berharap ada seseorang yang menolongku. Aku merasa kakiku mulai bergetar hebat.
            “Kamu sakit? Kenapa tidak ada yang menemanimu saat kamu sakit begini? Tak seharusnya kamu berada sendirian, apalagi ini di toilet pria.” Sambungnya. Dia melihatnya. Melihat kaki ku yang bergetar dengan hebatnya.
Tunggu! Dia bilang toilet pria? Apa maksudnya? Aku mengedarkan pandanganku, Ya Tuhan! Demi apapun aku tak akan memaafkan diriku. Rasanya aku ingin segera menggali tanah dan dikuburkannya aku secara hidup-hidup. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan perasaan yang memalukan ini.
Aku segera berlari meninggalkan toilet. Dengan langkah cepat tanpa memperdulikan laki-laki itu. Aku terkulai lemas di kursi.
            “Bisa kita mulai?” Ucap Bu Maudy.
Aku sebisa mungkin mengatur napasku yang begitu terengah-engah. Ok, lupakan kejadian tadi. Anggap saja badai.
            “Tentu saja.”
Aku mulai menekan tuts piano yang mulai melantunkan lagu If ain’t got you.. Aku terbawa oleh lantunan suara piano yang tentu saja diiringi oleh suaraku.  Dan suaraku mulai stabil lagi, tak ada suara gemetar seperti hal nya tadi di tempat memalukan yang tak akan bisa aku lupakan seumur hidup.
Terdengar suara tepuk tangan yang sangat ganjil di telingaku. Saat aku mencoba membuka mata…
            “Suaramu luar biasa.”
Damn! Si laki-laki penghuni toilet itu! Mau apa dia kemari? Apa belum puas dia mempermalukanku?
            “Kenapa kamu ada disini? Mana Bu Maudy?” Tanyaku ketus.
            “Dia ada di lantai bawah, ada keperluan. Dipanggil Pak Rahadi.”
Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara kami. Hening panjang mengisi ruangan. Aku pura-pura sibuk dengan kertas-kertas yang berhamburan sekenanya.
            “Kenapa kamu terlihat begitu takut terhadapku?” Tanyanya memecahkan keheningan.
            “Aku hanya tidak biasa dengan orang asing yang baru aku kenal.”
Itu adalah alasan yang tepat untuk menutupi rasa malu ku. Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar apa yang aku ucapkan. Aku tak mengerti apa maksud dari senyuman itu.
            “Maaf Kalangi, ibu tadi ada keperluan sebentar.” Terdengar sumber suara dari arah pintu. Kontan aku pun menoleh.
            “No problem.” Ucapku dengan perasaan lega.
            “Bu, aku rasa cukup sampai disini latihannya. Tiba-tiba aku tidak enak badan.” Sambungku. Ya, itu hanya alasan belaka agar aku bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Lebih tepatnya agar tidak ada pertemuan lagi antara aku dengan laki-laki si penghuni toilet.
            “Baiklah, ibu akan mengantarmu pulang.”
            “Tidak usah! Aku bisa sendiri, lagian aku hafal jalannya.” Tukasku. Jelas aku menolak. Di depanku ada laki-laki si penghuni toilet dan aku tidak mau disebut sebagai penakut setelah apa yang terjadi hari ini. Bisa-bisa label penakut akan terus melekat di tubuhku.
            “Aku pamit bu.” Sambungku terburu-buru. Aku tidak mau Bu Maudy sampai mengantarku pulang. Seperti yang aku bilang, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini.
Di luar masih hujan. Genangan air terus menaik. Inilah suka dukanya tinggal di kota metropolitan, saluran air yang sedikit memungkinkan air menaik dan merambat ke jalan. Belum lagi sampah-sampah yang menyumbat saluran air.
Aku membuka payung yang sengaja aku bawa dari rumah. Tadinya aku ingin mampir ke toko buku terlebih dulu, namun hujan semakin deras dan petir menggelegar memekakan telinga.
Aku pun menepi disebuah warung kopi yang letaknya tak jauh dari tempat Bu Maudy mengajar.
Suhu udara pun semakin dingin. Aku mulai kedinginan karenanya. Meskipun aku memakai baju lengan panjang, tetap saja udara dingin menghampiri tubuhku. Aku mulai menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk sekedar menghangatkan.
            “Kamu itu terlalu nekad Kalangi.”
Kontan aku menoleh pada seseorang yang menyebut namaku. Astaga! Laki-laki si penghuni toilet itu! Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku harus bertemu beberapa kali dengan orang ini. Memang, mungkin hanya dua kali. Namun, memergoki seorang wanita yang sedang berada di toilet pria, apa itu tidak memalukan? Jelas saja memalukan! Sangat memalukan! Wajar saja aku sangat menghindari pertemuan dengan si laki-laki penghuni toilet ini.
            “Apa maksudmu mengikutiku kemari?”
            “Aku tidak mengikutimu.” Perasaan malu segera merambat di benakku. Harusnya aku menghiraukannya, alhasil sekarang aku semakin dibuat malu olehnya.
            “Nih, untuk menghangatkan badanmu.” Ujarnya. Dia menyodorkan segelas susu coklat. Sial! Itu minuman kesukaanku dan aku tak mungkin menolak. Tapi meskipun itu minuman kesukaanku, aku bukanlah anak TK yang bisa diatur dengan hal-hal kecil yang disukai. Aku tetap waspada.
            “Tidak ada racun, narkoba, ataupun bom. Tenang saja.” Lagi-lagi dia seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Karena memang udara semakin dingin, aku tidak mungkin terus berpura-pura. Lagipula, hati kecilku mengatakan laki-laki ini anak baik. Sejauh peristiwa salah toilet, dia tak berani macam-macam. Menyentuhku pun tidak. Dan aku tidak mau mati konyol disebuah warung kopi karena kedinginan.
Kuraih susu coklat itu dan mulai meniupnya secara perlahan lalu menyeruputnya. Begitu hangat.
            “Baru kali ini aku menemukan sebuah warung kopi yang menjual segelas susu.” Ucapku memecahkan suara hujan.
            “Ya, hal yang tak terduga bisa terjadi dimana saja”
            “Seperti sekarang, aku bertemu dengan penghuni toilet yang terus mengikutiku.” Tawa ku getir.
            “Itu kehendak Tuhan, rencana awal Tuhan. Bukan sebuah kebetulan, Kalangi.”
Sekilas kami bertatapan dan sontak tawa kami memecah hujan. Kehangatan menjalar di tubuhku. Sorot mata tajam dan senyum yang terasa….mmm ya aku harus mengakui laki-laki dihadapanku ini memang tampan. Gigi yang berjejer rapi membuat senyumnya semakin memikat. Aku berani taruhan, wanita manapun yang melihat senyumnya pasti akan bertekuk lutut. Postur tubuh yang menjulang tinggi menandakan laki-laki ini pasti sering berolahraga. Begitu professional dan terlihat sangat maskulin.
Perbincangan kami sudah semakin jauh. Jujur aku sangat menikmatinya. Ada rasa nyaman yang terselip saat kami tertawa bersama. Perbincangan itu membawaku pulang ke rumah dengan diantar olehnhya. Ternyata berbincang-bincang dengannya membuatku lupa akan sekitar. Sekitar yang semakin gelap menandakan hari berganti malam.
            “Jadi mulai sekarang aku harus memanggilmu Sam?” Ujarku sembari membuka helm.
            “Yap!”
            “Kedengarannya sedih ya…”
            “Kenapa?”
            “Aku harus merelakan kepergian si penghuni toilet..” Di dalam hati aku sudah berhitung mundur, sebentar lagi helm yang dipegang si penghuni toilet itu akan mendarat di kepalaku. Eh, maksudku Sam.
            “Kalangi bisa kurang ajar juga ya ternyata.” Ujarnya sinis dengan senyum yang merekah. Menandakan bahwa dia memakan umpan candaanku.
Aku berlari dan memasuki halaman rumah.
            “Kalangi.” Teriaknya.
Kontan aku menoleh ke arahnya.
            “Sampai jumpa besok.”
            “Ok, see you again.” Ucapku melempar senyum dan melambaikan tangan.
Hahhhhh! Hari yang takan pernah aku lupakan. Aku terjun bebas ke ranjangku. Begitu menyebalkan dan menyenangkan. Aku selalu percaya dengan pernyataan menderita dan bahagia itu satu paket. Aku mulai memikirkan sejak awal pertemuanku dengan Sam. Sampai jumpa besok? Apa maksudnya? Aku pun terlelap dengan segala pikiranku, ada seulas senyum yang menemani tidurku.

Dering handphone mengusik bunga tidurku. Siapa yang menelponku? Kudapati di luar begitu cerah, segar sekali rasanya. Ternyata sudah jam 7. Aku melirik ponselku yang sedari tadi terus berisik. Nomor tidak dikenal, seperti nomor kantor. Mungkin diantara Ayah atau Bunda menelfon lewat kantor, memberitahuku bahwa mereka sudah tiba di Indonesia. Mereka memang sibuk.
            “Halo.” Kuawali percakapan dengan nada yang masih mengantuk.
            “Kalangi, cepat keluar.” Aku langsung terbelakak, Sam!
            “Misterius sekali memakai nomor kantor.”
            “Aku menelfon di wartel sebrang rumahmu.”
            “Apa?!” Rasa kantuk yang tadinya masih menjalar, hilang seketika.
            “Iya, aku tunggu.”
            “Tapi, aku ada jadwal belajar untuk hari ini.” Protesku.
            “Hari ini giliran aku yang akan menjadi gurumu.”
            “Hah?!!” Aku semakin tidak mengerti apa yang diucapkannya, aku curiga dia mengigau karena efek hari senin. Ya hari senin yang selalu menjadi bahan bully untuk para pelajar.
            “Sudahlah. Kamu cepat bersiap-siap, aku tunggu.”
Terdengar nada putus di ujung telepon. Aku semakin melongo tidak mengerti. Segera kuintip lewat jendela, memastikan bahwa Sam tidak mengerjaiku. Seperti biasa dia selalu tau apa yang aku pikirkan. Lambaian tangan dan senyum yang merekah terlihat di raut wajahnya saat aku mengintip lewat jendela. Sam!!!!!
Aku segera bersiap-siap. Mengguyur tubuhku dengan air dingin. Belum pernah aku mandi sepagi ini. Biasanya aku akan mandi di jam 9. Aku memang tidak seperti anak lainnya, jadwalku sudah ditentukan oleh Dokter. Dokter yang menanganiku. Memang terlihat santai karena aku menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Home schooling, dan asupan pendidikan lainnya dibuat private. Sekedar untuk memanjakan diri seperti halnya di salon pun, dilakukan di rumah.
Balutan kaus panjang membalut tubuhku. Di luar terik… ah sudahlah, hanya sekali saja mungkin tak akan berdampak besar.
            “Kalangi, Kalangi” Terdengar ketukan kaca dari balik jendela. Sam.
            “Ayo cepat.” Ujarnya serasa berusaha menarikku keluar lewat jendela.
            “Jadi, kamu mau mengajakku kabur?”
            “Suttttt! Aku kan sudah bilang, aku kesini akan mengajakmu belajar.” Bisiknya dengan volume nyaris tak bisa aku dengar saking kecilnya.
            “Tapi belajar apa?” Ucapku dengan nada yang meninggi. Bi Ina yang sedang di kebun nyaris menangkap basah kami yang sedang mengendap-endap di balik semak-semak. Dengan sigap Sam membekapku. Terus membekapku hingga kami berhasil kabur.
            “Ayo!” Sam menyodorkan helm.
Aku mencegat tangannya. “Aku belum tahu apa maksudmu ini.”
            “Aku akan mengajakmu ke bazar makanan.” Jelasnya.
            “Dengan membolos sekolah? Mana ada seorang Dokter bolos sekolah.” Sindirku. Cita-cita Sam memang menjadi seorang Dokter. Dokter bedah katanya.
Dia cepat menarikku menaiki motornya, dengan kilat dia sudah menjalankan dengan kecepatan maksimum. Secara refleks aku memegang pinggangnya erat-erat. Awalnya aku memang kesal dengannya, namun entah apa yang membuatku bungkam seperti saat ini.
Panas matahari mulai menyorot tubuhku. Ah, tidak ada apa-apa. Melihat kondisiku seperti ini aku yakin akan baik-baik saja, terlebih aku tidak merasakan apa-apa dengan tubuhku.
Mataku bersinar ketika melihat stand bazar yang berjejer. Aku sangat menyukai tatkala diadakannya bazar makanan. Mengingatkanku pada kota Seoul, Korea. Bedanya, di Seoul biasanya diadakan pada musim dingin, sehingga aku bisa mencicipi semua stand yang ada. Sedangkan di negaraku ini, aku baru akan merasakan. Selalu dan selalu. Faktor iklim yang selalu menghalangiku.
Aku segera menarik tangan Sam untuk bergabung dengan kerumunan orang yang terlihat seperti semut. Aku akan mencicipi semua stand yang ada. Pasti!
            “Kamu menyukainya?”
Aku mengangguk. “Aku tidak akan sehisteris ini jika aku tidak menyukainya, Sam.”
Seulas senyum mengembang di bibir Sam.
            “Ayo kita cicipi semua stand yang ada, jika perlu kita habiskan semua!!!” Teriak Sam dengan tangan dikepal diacungkan ke langit.
            “Pasti!” Balasku semangat.
Aku tak pernah sebahagia ini. Aku memang pernah merasakan rasa bahagia, namun itu hanya selingan. Ketika aku masih kecil. Ketika aku belum mengenal diriku, belum mengenal seluk-beluk yang ada di dalam diriku. Bersamanya, aku merasakan lagi apa itu rasa bahagia. Iya, Sam. Seolah-olah dia mengenalkan kembali apa itu bahagia. Lebih tepatnya dia membawa rasa bahagia itu untukku.
Rasa panas mulai terasa ditubuhku. Sedikit demi sedikit bintik-bintik merah menjalari tubuhku. Aku tahu ini bagian dari dampak penyakitku. Entahlah, untuk saat ini aku tidak mau memikirkan hal itu. Aku terus meyakinkan diriku akan baik-baik saja.
Tak terasa sudah ada bintang di langit. Bintang yang hari ini ditemani bulan, begitu indah.
Selanjutnya, Sam membawaku ke suatu tempat dengan menutup mataku. Padahal aku tahu, dia membawaku ke tepi pantai. Bagaimana tidak? Begitu jelas suara ombak terdengar bergemuruh dan tenang. Dasar Sam. Dia memang tak berbakat jadi pria romantis.
            “Sam….” Aku kaget dengan apa yang aku lihat setelah sadar ternyata Sam sudah membukakan penutup mataku. Gelap!
            “Sam!!!!” Aku mulai berteriak. Ada rasa takut yang aku rasakan.
            “Tenang Kalangi.” Terdengar suara yang berasal dari belakangku.
Terlihat Sam memegangi sebatang lilin merah. Lilin merah yang memancarkan cahaya redup.
Sam meniup lilin itu, dan sebuah kecupan mendarat di keningku.
            “What a wonderful night. I feel like today, and I love you Kalangi.” Suara itu menggetarkan telinga dan hatiku. Aku merasakan begitu hangat dekapan tubuhnya. Seulas senyum mengembang manis di bibirku. Pipiku terasa basah oleh air mata. Ya, air mata bahagia.
            “I love you too, Sammy.” Itulah kata yang terakhir aku ucapkan. Sebelum semuanya menjadi putih.


Kategori: Fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar