Non Fiksi

It's Child!


         Jum’at pagi pada pukul 10.00 wib…
“Gak kuat bu, gak kuat! Tolong saya!”
“Sabar bu, sabar. Kita mulai persalinannya ya”
“Huh….hah…huh…hah…”
“Satu….dua…tiga!!!”
Terdengar tangisan bayi yang begitu kencang sehingga tangisannya sangat terdengar kuat.
“Selamat ya bu, bayi nya perempuan”
“Alhamdulillah….” Tangis bahagia membasahi pipi bercampur dengan keringat yang bercucuran.
            Lahirlah aku. Aku yang sekarang terlahir di dunia, aku yang berada di planet bumi. Aku yang akan memulai kehidupanku….

“Bi, abang tuh mau kemana sih? Ko buru-buru?” Ujarku. Aku yang masih berumur 3 tahun bertanya pada Bi Enah dengan penasaran tanpa mengalihkan pandanganku dari televisi yang ada di depanku.
            “Abang mau sekolah de”
            “Sekolah? Dede juga pengen sekolah dong bi” Ucapku. Aku mulai tertarik. Yang ada dipikiranku saat itu sekolah adalah tempat menyenangkan. Dimana kita bisa bertemu dengan teman-teman sebaya dan bermain bersama.
            “Ade masih harus nunggu 2 tahun lagi, baru sekolah” Terang Bi Enah tanpa mengalihkan pandangannya dari acara yang ditontonnya bersamaku.
            “Aaaaah! Pokoknya dede pengen sekolah! Ayo sekarang berangkat bi!” Rengekku sambil menarik-narik lengan baju Bi Enah. Entah mengapa, hanya dengan melihat abangku mengenakan seragam dan tas yang digendongnya, aku sangat ingin sekali ikut sekolah.
Bi Enah tetap dengan posisinya. Dan aku pun mulai jengkel melihat sikapnya yang acuh. Aku menangis sejadi-jadinya, merengek-rengek, memukul-mukul tangan Bi Enah.
            “Kenapa nangis de?” Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Suara yang aku kenal. Ya, suara mama. Aku langsung berlari menghampiri dan memeluk mama yang lengkap dengan pakaian kerjanya.
            “Dede pengen sekolah….”
            “Iya bu, Neng Iyya ngerengek pengen sekolahpas liat abangnya berangkat” Sambung Bi Enah menjelaskan. Neng Iyya adalah panggilan namaku.
Mama menggeleng-geleng heran sekaligus bingung.
            “Yaudah, ade ikut sekolah sore aja ya yang ada di TPA Ar-Rahmah” Ujar mama menenangkan. “Bi, nanti sore anter Neng Iyya kesana sekaligus urusin pendaftarannya ya”
            “Horeeeee!!!!!!” Teriakku. Girang seperti orang yang menang lotre.
Aku langsung berlari ke kamar menyiapkan tas yang aku punya untuk nanti dipakai. Itu adalah awal dari sebuah niat. Semoga berujung kepada kebajikan….

            Tibalah aku dengan umurku 5 tahun. Aku disekolahkan di Taman Kanak-kanak Dewi Sartika menempati kelas O besar. Kesannya sangat menyenangkan dan aku mempunyai teman banyak.
Aku teringat dikala waktu itu, di sebuah acara ‘samen’ aku membacakan puisi untuk guruku. Sampai sekarang pun bait-bait puisi itu masih belum hilang di kepalaku.
Wahai guruku, yang selalu membimbingku.
Kini aku bisa belajar, menulis, dan berhitung.
Terimakasih guruku.
Do’aku selalu menyertaimu.
Amin.
Kurang lebih seperti itulah isinya. Dan aku tak pernah lupa bahwa pernah menari berlenggak-lenggok di atas panggung. Aku lupa jenis tariannya. Seingatku, aku menari dengan membawa sebuah keranjang kecil yang dihias, rambutku ditata dengan kepangan yang dipenuhi jepit berwarna-warni, dan memakai baju merah bermodel kebaya yang terbuat dari kain tipis. Betapa lucunya mengingat hal itu.
            Aku pun menginjak kelas 1 Sekolah Dasar.
Awalnya aku menempati kelas 1A, tetapi esoknya berubah menjadi 1B. Entah faktor apa yang menyebabkan hal itu, yang jelas murid 1A memiliki jumlah murid yang lebih banyak dibandingkan kelas 1B.
Sekolahku berdekatan dengan sekolah Taman Kanak-kanak yang dimana dulu aku pernah bersekolah disana dan letaknya tak jauh dari rumah. Dengan berjalan kaki pun tak menghabiskan waktu yang lama. Bedanya, sekarang aku mulai belajar berangkat sekolah tanpa ditemani Bi Enah. Jika dulu Bi Enah selalu menungguku sampai pulang sekolah, sekarang tidak. Aku mulai belajar mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain.
Disekolahku, aku bertemu lagi dengan teman-teman TK-ku dulu. Tapi sayangnya, teman-temanku kebanyakan menempati kelas 1A.
Banyak pengalaman/cerita yang aku lewati di masa Sekolah Dasar. Dimulai dari pengalaman pertamaku menjadi pengibar bendera, kenal dengan ekskul Pramuka, mengikuti perkemahan dalam rangka HUT Pramuka ke-45 yang bertempat di Gunung Putri. Banyak sekali.
Aku ingat dengan guru favoritku Pak Hasan yang mengajar Matematika. Aku sangat suka dengan cara beliau mengajar. Meskipun guru Matematika, tapi itu tak membuat kita takut akan Matematika. Justru sangat menyenangkan! Cara beliau mengajar selalu diimbangi dengan selingan canda dan cerita menarik yang tak membuat kita jenuh. Selalu ada selingan cerita-cerita lucu yang membuat kita tertawa disaat kita pusing akan Matematika. Tapi itu tak berlangsung lama ketika aku harus meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMP. Aku menangis di acara perpisahan ketika bersalaman dengan guru-guru yang telah membimbingku dari kelas 1 sanpai 6. Yang paling berat, dimana aku harus berpisah dengan Pak Hasan guru favoritku. Beliau sosok yang aku kagumi. Dipikiranku terlintas, apakah aku akan menemukan lagi guru seperti beliau? Guru Matematika paling santai yang pernah aku temui.
Ah sudahlah…. Mungkin ini hanya suasana saja yang mendukung keadaan. Suasana yang penuh isakan tangis dan aku pikir, aku hanya terhipnotis dengan suasana. Yang jelas, aku selalu ingat senyum Pak Hasan yang tenang ketika aku hendak bersalaman di acara perpisahan itu.

5 komentar: