Selasa, 27 November 2012

Mereka Membicarakanku.

Sandi dengan terpaksa berangkat juga mencari kendaraan di ujung jalan. Malam sepertinya lebih gelap daripada biasanya. Anjing tetangga yang terjaga mendengking dan menyalak begitu Sandi lewat di depan gerbang. Sandi menjerit kaget. Ia lega menyadari pintu gerbang itu terkunci.
Jantung Sandi berdebar kencang. Ujung jalan yang hanya berjarak 200 meter itu seperti berkilo-kilometer jauhnya...................................



"Keberanian Sandi"
Oleh Yuniar K.
Sumber: Buku Pustaka Ola.

Berbeda


Disaat aku mengangkat kedua tangan di balutan do’a, dia melipatkan kedua tangannya dengan mata yang terpejam.
“Kamu cantik dengan penutup kepalamu. Terlihat damai dan sejuk.”
Karenanya aku tersadar akan hal mendekatkan menuju Tuhanku. Sudah terlalu lama aku melupakan Tuhanku. Bahkan, dia  yang tak seiman denganku lebih tau banyak tentang agamaku. Dia memang luar biasa. Abahku yang notabene ‘fanatik’ pun tak bisa mempengaruhi tentang diriku yang katanya “acak-acakan”. Ya, aku sering bertukar argumen dengan beliau. Mmmm… bukan sering, namun selalu melempar argumen yang katanya memekikkan telinga tetangga. Bukannya aku bercita-cita sebagai anak durhaka, namunn cara beliaulah yang membuatku muak dan memacuku untuk terus membangkang.
Bagaimana tidak? Aku seperti hidup di dalam sel jeruji besi yang selalu ditenkankan untuk menjadi orang lain. Selalu mengomentari style ku yang katanya seperti wanita jalang yang berkelian di tengah malam.
Celana bokser dan baju kaos kedodoran, bagianmananya wanita jalang? Bahkan menurutku, wanita jalang akan ogah-ogahan jika ditawari kaos dan celana seperti style ku ini. Bukannya dilirik genit oleh si peminat, tapi dilirik kasihan karena berdandan seperti gembel. Hahahaha.
Memang orang tua yang selalu membanding-bandingkan zaman proklamasi dengan zaman kemerdekaan, tak pernah up to date dengan perkembangan yang ada. Menetap dengan pemikiran second dan harus di upgrade. Ok, stop membahas orang tuaku. Malaikat sudah mencatat deretan-deretan dosa yang menurutku seperti struk belanjaan Umi yang berbelanja kebutuhan untuk 3 bulan.
Somehow....
Seperti air yang mengalir tanpa berketuk. Tuhan mengirimkan pasangan tulang rusuk ku. Namun, seketika tulang rusuk itu retak dan akhirnya patah....


Kategori: Fiksi.

M.A.M.A

Mama? Jika aku mendengar kata itu, tak ada satu pun hal yang terlintas dipikiranku. Namun, serangkaian 4 huruf 1 kata itu ada dan selalu terlintas di hatiku. Lebih tepatnya diam dan selalumenjadi alunan sepanjang masa. Rintihan teriakan hati mengingat bagaimnaba jika kau meninggalkanku di dunia ini.... sungguh aku tak bisa membayangkannya. Sosok mama yang merangkap menjadi seorang Ayah. Ya, itu yang aku rasakan ma... Aku tahu, mama paling hebat. Mama paling-paling dan ter-ter yang aku punya. Sosokmu yang selalu aku kagumi. Aku ingin sepertimu, aku ingin kuat sepertimu ma....
Kau yang selalu mengajarkankubagaimana cara ber etika yang baik. Kau yang selalu mengajarkanku bagaimana bersikap terhadap semua orang, bahkan kepada seorang pemulung pun kau selalu mengajarkanku untuk santun. Kau mengajarkanku cara berbagi dengan orang lain, kau mengajarkanku apa arti rendah hati, dan kau mengajarkanku bagaimana menjadi sosok yang tegar. Tidak, kau tidak mengajariku, tapi engkau telah menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya seolah-olah kau mengajariku. Bukankah orang tua yang baik adalah orang tua yang bersikap sesuai perannya tanpa harus mengajarkan hal-hal baik terhadap anak-anaknya? Karena jika orang tuanya bersikap baik, tentu anak-anaknya akan meniru sosok orang tuanya. Bukan begitu Ma?
Engkau luar biasa Ma.....
Tapi aku selalu mengutuk diriku sendiri yang terlalu egois, keras kepala, ke kanak-kanakkan. Berbeda jauh denganmu Ma...
Aku pernah melihatmu menangis. Tangisan cape. Tangisan yang benar-benar terisak. Tapi, apa yang bisa aku lakukan melihatmu seperti itu? Aku hanya diam mematung, ikut menangis bersamamu, dan aku tertawa kepada diriku sendiri, betapa bodohnya diriku yang saat itu hanya bisa diam.
Aku tak bisa mendeskripsikanmu dengan kata-kata yang mungkin menurutmu seperti suara kucing bising karena kelaparan. Karena bagiku kau nyata.
Kecupan hangat hinggap di dahi yang membuatku terbangun dari tidurku dan segera teringat akan hari ulang tahunku. Itu kado terindah yang pernah aku miliki.
Kau mungkin tahu sifat diriku, jika aku diberi kesempatan untuk berbicara maka aku akan terus tiada henti-hentinya berbicara. Maka dari itu, aku tak bisa berkicau  panjang lebar disini, jika aku diberi bebas karakter tanpa batas untuk berbicara aku tak akan bisa panjang lebar. Karena ini hanya tulisan yang mewakili sebagian teriakan hatiku. Hanya sebagian.
Mama, jujur aku malu mendapati diriku yang sampai saat ini belum menjadi apa-apa, bahkan untuk membuat kau bangga aku belum bisa.
Aku tak ingin berjanji terhadapmu, karena tak ada yang bisa aku janjikan saat ini. Maaf Ma...
Aku hanya ingin kau selalu mendukung segala apa yang aku lakukan, aku butuh support, aku butuh doa'mu. Do'amu lah yang akan mengantarkanku pada gerbang keberhasilan, dan akan menjadi sebuah kebanggaan untukmu.

Happy Birthday Mom, I Love You so much....

June, 14.





Rest In Peace

Kenapa kebahagiaan selalu satu paket dengan kesedihan? Kenapa disaat bahagia harus ada orang yang menangis? Ataupun sebaliknya. Hidup itu keras, sekeras batu. Tidak salah watak manusia pun ada yang keras, beserta hatinya pun tak kalah kerasnya. Namun, sekeras-kerasnya hati atau watak manusia jika dihadapkan dengan cobaan dia akan menangis. Menangis sejadi-jadinya, menangis tersedu-sedu. Begitulah, jika dihadapkan dengan perpisahan semua akan menangis. Pasti. Jika ada orang yang tidak menangis, berarti itulah yang disebut batu. 
Ya, hari minggu tanggal 25 November 2012 bertepatan dengan meninggalnya Alm. Bibi saya. Dimana beliau memperjuangkan hidupnya, dan terus berkontraksi dengan Tuhan. Sosok beliau yang tak disangka-sangka yang harus lebih dulu meninggalkan kita. 
Kini aku mengerti mengapa Lebaran kemarin menjadi Lebaran yang terakhir ketika ku bersama beliau. Bagaimana Tuhan merencanakan agar aku berlama-lama dengan beliau. Tuhan memang sutradara paling hebat.
Semoga beliau bisa ditempatkan di tempat yang paling mulia disisimu Ya Allah....Amin.
Wish that God Bless My Aunt... We love you :"[


Kategori: Non Fiksi.

Pertemuan Tak Terduga


"K-kak Niko? Ayah?" Aku masih tak percaya apa yang ada dihadapanku saat ini. Sosok yang selalu datang menjadi mimpi buruk setiap malam. Sosok yang akhir-akhir ini selalu membuatku takut tapi sangat aku rindukan. Dan sekarang ada dihadapanku? I-n-i g-i-l-a!
"Yud gue balik duluan, istri gue nelfon nih nyuruh pulang cepet" Ucapku pada Yudi yang terlihat sibuk berkutat dengan laptop dihadapannya.
"Yeee, mau kemana lo? Masih siang bro, malem jum'at masih lama kale" Canda Yudi sambil memutar kursi yang ia duduki tepat berada dihadapanku.
"Apaan sih lo! Basi! Makannya cepetan kawin deh lo Yud, tuh Sarinah juga kosong"
"Yee ngocol lo! Udah ada calon lagi. Eh btw, salamnya aja deh ya ke istri lo. Bilangin salam ganteng dari Mas Yudi"
"Waaaah tinggal nerima undangan nih! Oke deh Mas Yudi ganteeeeng!" Ujarku berlalu sambil mencubit pipi Yudi.
"Eh awas lo ye" Teriak Yudi sambil memegang pipinya yang terlihat merah karena ku cubit. Aku hanya membalasnya dengan lambaian tangan yang genit.
Memang selalu ada candaan kami di selang kerjaan kantor yang menumpuk. Bahkan dalam urusan m-e-r-k c-e-l-a-n-a d-a-l-a-m a-p-a y-a-n-g n-y-a-m-a-n bisa menjadi topik pembicaraan kami. Memang tak penting, dan terdengar freak tapi itu yang membuat persahabatan kami ada sampai sekarang.
Diperjalanan, aku teringat dengan mimpi-mimpi aneh yang akhir-akhir ini selalu datang menghantuiku. Sebenarnya ada apa ini? Mengapa perasaan takut itu belum hilang sampai detik ini? Perasaan takut yang selalu menghantuiku. Ditambah mimpi buruk yang selalu datang di mimpiku. Sosok Ayah dan Kak Niko terasa hadir kembali. Sosok mereka yang aku rasa ada disekelilingku. Aku merasa gerak-gerikku dilihat oleh mereka.
CKIIIIITTTTTT! Aku terbangun dari lamunanku. Sesosok Bapak-bapak terkapar dihadapanku. Ya Tuhan! Apa yang aku lakukan!
Segera kuhampirinya.
"Maaf Pak, ini salah saya maaf" Ucapku panik. Kurasa bapak-bapak itu merasakan kepanikanku.
Bapak itu langsung membalikkan badannya, menolehkan wajahnya, dan.... DEG!
Darahku mengalir deras. Keringat dingin segera membanjiri tubuhku. Jantungku berdegup kencang. Perlahan langkahku semakin mundur.
"A-a-a-ayah...." Ucapku dengan gemetaran. Seketika wajahku berubah pucat.
Apa ada yang salah dengan penglihatanku? Apa penglihatanku sudah rabun? Apa ini mimpi lagi? DEMI TUHAN TOLONG BANGUNKAN AKU ANNA!!!!
Aku langsung meninggalkan tempat itu. "I-N-I S-A-N-G-A-T G-I-L-A! BENAR-BENAR GILA!!!" Teriakku sambil membanting stir. Tak ada sedikitpun hasrat ingin menolong sosok yang bisa dikatakan mirip dengan Ayah. Yang aku rasa hanya takut, takut akan sosok yang aku ketahui sudah tak ada keberadaannya di bumi. Sosok yang seharusnya Tuhan tempatkan di alam yang sudah Ia sediakan, dan ruh yang seharusnya sudah Tuhan kunci.
Kucoba tenangkan pikiranku. Kucoba kendalikan emosi dan rasa takutku.
Bagaimana kalau itu hanya seseorang yang mirip dengan Ayah? Mengapa aku tak menolongnya...Mengapa aku meninggalkan orang itu begitu saja....Pasti orang-orang sudah berfikiran jijik terhadapku. Betapa tak berprikemanusiaannya diriku. ARRRRRRGGGGHHHH!
Tanpa berfikir panjang, kuputar balik arah mobilku menuju tempat kejadian tadi. Semoga saja hanya penglihatanku yang salah.
Kuamati jalan sekitar. Sudah hampir 6x aku bulak-balik sekitar jalan itu. Tapi, kemana perginya bapak itu? Apa sudah ada yang menolongnya? Ajaibnya, tak ada seidikitpun darah yang berceceran. Jalan itu bersih. Padahal senggang waktu aku meninggalkan tempat itu tak begitu lama. Aku tahan segala macam pertanyaan yang mulai memenuhi otakku, kucoba tanyakan kepada pemilik warung yang letaknya bersebrangan dengan tempat kejadian.
"Maaf Pak numpang tanya, bapak-bapak yang tertabrak tadi dibawa kemana ya Pak?" Tukasku sambil menunjuk tempat kejadian.
"Tertabrak? Daritadi saya disini, tak ada yang tabrakan Mas" Jawabnya. Jawaban yang lagi-lagi mulai mengagetkanku.
"Ahh Bapak bercanda nih, jelas saya yang menabraknya ko Pak" Jawabku dengan senyuman yang berusaha mencairkan rasa kagetku.
"Wah ini Mas nih yang bercanda, daritadi saya disini tak terjadi hal apa-apa. Coba tanya deh orang-orang yang daritadi disini Mas"
"Wah kalo Bapak boong, nanti Bapak yang dicabut nyawanya loh" Ucapku ngasal dengan hati yang mulai tak enak.
"Sumpah deh Mas. Demi mati sekarang deh saya mah"
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
"Hahahahahaha bercanda ko Pak, makasih ya Pak" Aku segera meninggalkan warung itu.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
D-e-m-i M-a-t-i S-e-k-a-r-a-n-g.
SEBENARNYA APA YANG DIKATAKAN BAPAK ITU????????? ARRRRGGGGHHHHHHHH!!!!!
Kubanting stir dengan perasaan berkecamuk. Tak usah aku pikirkan lagi, yang harus aku pikirkan 'aku harus secepatnya tiba di rumah karena Anna menungguku' OK!
Sampailah di rumah. My sweet home. Semoga Anna memberiku kejutan dengan masakannya yang membuat lidahku bergoyang dan dengan itu aku bisa melupakan kejadian gila yang baru saja terjadi.
"Tadaima" teriakku. (Tadaima:Saya Pulang)
"Okaeri" Terdengar jawaban dari dalam rumah. (Okaeri:Selamat Datang)
Tercium masakan yang mengundang perut untuk segera disantap.
"Kamu masak ya?" Tanyaku kepada Anna.
"Iya Mas" Jawabnya sembari membukakan jas yang aku pakai.
"Tau aja deh kalo suaminya lagi kelaparan. Hehehehe"
"Kewajiban istri Mas, lagian kita nggak cuma makan berdua kok"
"Ada tamu? Siapa?"
"Pokoknya tamu spesial"
Aku segera menuju ruang makan, siap untuk menyantap masakan istriku dan penasaran dengan tamu spesial yang dirahasiakan olehnya.
Baru kulangkahkan kakiku sampai pintu, dan dengan otomatis langkahku terhenti. Darahku kembali mengalir cepat, jantungku berdegup kencang, keringatku menjadi dingin. Wajahku berubah menjadi pucat pasi.
"Hai Bima!" Sapa mereka berdua. Ayah dan Kak Niko....
Sosok yang selalu datang menjadi mimpi burukku. Sosok yang aku tabrak tadi. Sosok yang akhir-akhir ini selalu membuatku takut tapi sangat aku rindukan. Kucubit lenganku dan rasanya sakit. Benar, ini bukan mimpi lagi. Aku benar-benar sedang ada dihadapannya. Sosok yang membuatku gila. Sosok..... dan semuanya menjadi gelap.


Kategori: Fiksi.

Fight First Love



Harum tanah yang menyeruak di hidungku selalu menjadi ciri khas setelah hujan turun. Cipratan air menyentuh kaca jendela yang membentuk embun. Tak sedikit air yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, hingga aku menikmatinya. Mungkin untuk sebagian banyak orang akan menikmati situasi ini dengan ditemani segelas teh panas atau untuk rermaja seusiaku lebih menyukai secangkir kopi.  Namun aku tak menyukai keduanya. Aku lebih menyukai bermain bersama embun-embun yang ada di jendela kamar menggunakan jemariku. Ya, aku sangat menyukai hujan. Adil rasanya melihat semua orang bernasib sama sepertiku. Terjebak oleh satu garis yang datang secara keroyokan.
“Ayo kita mulai latihannya.”
Aku menoleh tanpa melepaskan jemari-jemariku yang sedang asyik membentuk sebuah gambar.
“Ibu sudah datang…”  Lirihku kepada guru les piano ku, Bu Maudy.
Aku berjalan menghampirinya dengan kaki telanjang menyentuh lantai marmer yang tentu saja terasa dingin sekali.
            “Maaf ibu terlambat.”  Ucapnya seraya membereskan baju yang dikenakannya karena terkena cipratan air hujan.
            “Tidak seharusnya ibu datang, di luar hujan deras.”
            “Itu tidak akan menjadi masalah.” Jawabnya dengan senyum yang bersahabat.
Kami berjalan ke arah ruang musik yang letaknya tak jauh dari kamarku.
            “Ada kesulitan di lirik baru yang ibu berikan?”
Langkahku terhenti. Bu Maudy menoleh dan secara otomatis langkahnya pun ikut terhenti.
            “Aku ingin datang ke tempat ibu mengajar…” Ucapku mengabaikan pertanyaanya.
            “Please bu, aku bosan. Bosan dengan suasana yang begini saja…”  Sambungku.
            “Tapi di luar hujan, kamu juga tahu di luar hujannya sangat deras.”
            “Seperti yang ibu bilang, itu tidak akan menjadi masalah.”
            “Tapi, tidak untukmu Kalangi.” Tegasnya.
            “Aku mohon, lagipula di luar tidak ada panas matahari...” Tukasku terus mengolo-olo dengan tampang memelas.
            “Baiklah, tunggu sebentar.”
Ia mencari sesuatu dari dalam tas nya. Dan ternyata yang ia cari adalah handphone.  Segera aku merebut handphone yang dipegangnya, dan kusembunyikan di belakang tanganku.
            “Ibu tak perlu repot-repot meminta izin Ayah atau Bunda. Itu sama saja bohong.”
            “Tapi…”
            “Ibu tunggu sebentar ya! Aku ganti baju dulu. Tunggu ya!” Ucapku dengan langkah mundur dan cepat-cepat menuju kamar. Akhirnya!!!! Aku keluar rumah yeay!!! Rasanya ingin aku berteriak dari atap monas sekencang-kencangnya. Mungkin bagi kalian keluar rumah bukanlah hal yang aneh. Tapi bagiku menurut seorang Kalangi, ini adalah hal yang paling dilarang. Bukan cupu ataupun kuper, sebut saja aku ini cewek penyakitan. Entahlah, aku pun tak pernah tahu apa nama penyakitku. Aku hanya tahu resiko apa yang akan menimpaku jikalau aku nekad melakukan hal-hal yang tidak harus aku lakukan. Dan aku tidak mau tahu apa penyakit yang menggerogoti tubuhku sehingga aku tidak bisa menikmati nikmatnya panas matahari selamanya. Selamanya. Seumur hidup. Mungkin kalian hanya bisa membayangkan begitu membosankan hidupku. Ya, kalian hanya bisa membayangkan tanpa bisa merasakan.
Aku mendapati diriku di dalam taksi menuju sekolah seni tempat Bu Maudy mengajar. Di luar begitu gloomy, sama seperti nasibku. Aku sengaja meminta Pak Budi agar tidak mengantarku, supaya aku bisa berlama-lama di luar rumah. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan  ini.
            “Kita sudah sampai.”
Aku mengerling mengedarkan pandangan. “Ayo kita masuk!” Ujarku semangat.
Dengan langkah perlahan, aku mengikuti alunan sepatu yang dikenakan Bu Maudy.
            “Halo ibu.” Sapa seseorang yang kira-kira sebaya denganku. Aku menduga itu adalah salah satu murid Bu Maudy.
            “Hai Erika.” Bu Maudy membalasnya. Namanya Erika. Aku hanya membalas dengan seulas senyuman saat anak itu bergantian menatapku. Mungkin ia merasa asing denganku yang baru ia lihat di tempat ini.
            “Bu aku butuh toilet.” Ucapku di tengah perjalanan menuju kelas.
            “Mau ibu antar? Toiletnya ada disebelah kelas balet di ujung sana.”
            “Ok, nanti aku akan menyusul ibu ke kelas.”
Segera aku berlari kecil menuju toilet. Sebenarnya sudah setengah jam aku menahannya. Uhh lega rasanya.
Sebelum aku meninggalkan toilet, aku menyempatkan diri untuk mematut diri di depan cermin. Ini yang selalu aku lakukan, seolah-olah menjadi hal wajib yang tak boleh ditinggalkan. Namun bukan untuk berdandan seperti halnya kebanyakan wanita, aku hanya akan memerhatikan wajahku. Wajahku yang begitu pucat pasi, ditambah lingkaran hitam yang ada di sekitar mata ku. Sepertinya sebentar lagi aku akan menjadi turunan Edward Cullen dan Bella Swan. Ah tidak, itu terlalu bagus.
Saat aku mematut diri, terlihat dibelakangku seorang laki-laki keluar dari balik pintu. Aku mendongak kaget. Mana ada pria berada di dalam toilet wanita?
Hal-hal negatif terus berkelabat di pikiranku. Tak terasa, langkahku dengan perlahan mundur seketika saat laki-laki itu memandangku dengan tatapan….aneh! Aku pastikan bahwa wajahku sekarang sudah seperti mayat hidup.
            “Kamu mau  apa…”    Ucapku terbata-bata.
Laki-laki itu terlihat heran dengan sikapku yang begitu ketakutan, itu bisa terlihat dari ekspresinya saat mengernyitkan dahi.
Harusnya aku bisa lari secepat mungkin meninggalkan laki-laki itu dengan kekuatan super duper maksimal, namun kaki ku terasa berat. Dan ternyata aku sudah mendapati diriku di ujung tembok, sehingga aku tidak bisa melangkah mundur lagi. Tapi laki-laki itu terus mendekat. Aku hanya bisa berdo’a di dalam hati. Memanjatkan segala do’a dan segala permintaan sebelum aku berada di dunia lain.
            “Jangan takut, aku tidak berbahaya seperti apa yang kamu pikirkan.” Ujarnya. Seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Aku hanya bisa berdiam diri, berharap ada seseorang yang menolongku. Aku merasa kakiku mulai bergetar hebat.
            “Kamu sakit? Kenapa tidak ada yang menemanimu saat kamu sakit begini? Tak seharusnya kamu berada sendirian, apalagi ini di toilet pria.” Sambungnya. Dia melihatnya. Melihat kaki ku yang bergetar dengan hebatnya.
Tunggu! Dia bilang toilet pria? Apa maksudnya? Aku mengedarkan pandanganku, Ya Tuhan! Demi apapun aku tak akan memaafkan diriku. Rasanya aku ingin segera menggali tanah dan dikuburkannya aku secara hidup-hidup. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan perasaan yang memalukan ini.
Aku segera berlari meninggalkan toilet. Dengan langkah cepat tanpa memperdulikan laki-laki itu. Aku terkulai lemas di kursi.
            “Bisa kita mulai?” Ucap Bu Maudy.
Aku sebisa mungkin mengatur napasku yang begitu terengah-engah. Ok, lupakan kejadian tadi. Anggap saja badai.
            “Tentu saja.”
Aku mulai menekan tuts piano yang mulai melantunkan lagu If ain’t got you.. Aku terbawa oleh lantunan suara piano yang tentu saja diiringi oleh suaraku.  Dan suaraku mulai stabil lagi, tak ada suara gemetar seperti hal nya tadi di tempat memalukan yang tak akan bisa aku lupakan seumur hidup.
Terdengar suara tepuk tangan yang sangat ganjil di telingaku. Saat aku mencoba membuka mata…
            “Suaramu luar biasa.”
Damn! Si laki-laki penghuni toilet itu! Mau apa dia kemari? Apa belum puas dia mempermalukanku?
            “Kenapa kamu ada disini? Mana Bu Maudy?” Tanyaku ketus.
            “Dia ada di lantai bawah, ada keperluan. Dipanggil Pak Rahadi.”
Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara kami. Hening panjang mengisi ruangan. Aku pura-pura sibuk dengan kertas-kertas yang berhamburan sekenanya.
            “Kenapa kamu terlihat begitu takut terhadapku?” Tanyanya memecahkan keheningan.
            “Aku hanya tidak biasa dengan orang asing yang baru aku kenal.”
Itu adalah alasan yang tepat untuk menutupi rasa malu ku. Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar apa yang aku ucapkan. Aku tak mengerti apa maksud dari senyuman itu.
            “Maaf Kalangi, ibu tadi ada keperluan sebentar.” Terdengar sumber suara dari arah pintu. Kontan aku pun menoleh.
            “No problem.” Ucapku dengan perasaan lega.
            “Bu, aku rasa cukup sampai disini latihannya. Tiba-tiba aku tidak enak badan.” Sambungku. Ya, itu hanya alasan belaka agar aku bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Lebih tepatnya agar tidak ada pertemuan lagi antara aku dengan laki-laki si penghuni toilet.
            “Baiklah, ibu akan mengantarmu pulang.”
            “Tidak usah! Aku bisa sendiri, lagian aku hafal jalannya.” Tukasku. Jelas aku menolak. Di depanku ada laki-laki si penghuni toilet dan aku tidak mau disebut sebagai penakut setelah apa yang terjadi hari ini. Bisa-bisa label penakut akan terus melekat di tubuhku.
            “Aku pamit bu.” Sambungku terburu-buru. Aku tidak mau Bu Maudy sampai mengantarku pulang. Seperti yang aku bilang, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini.
Di luar masih hujan. Genangan air terus menaik. Inilah suka dukanya tinggal di kota metropolitan, saluran air yang sedikit memungkinkan air menaik dan merambat ke jalan. Belum lagi sampah-sampah yang menyumbat saluran air.
Aku membuka payung yang sengaja aku bawa dari rumah. Tadinya aku ingin mampir ke toko buku terlebih dulu, namun hujan semakin deras dan petir menggelegar memekakan telinga.
Aku pun menepi disebuah warung kopi yang letaknya tak jauh dari tempat Bu Maudy mengajar.
Suhu udara pun semakin dingin. Aku mulai kedinginan karenanya. Meskipun aku memakai baju lengan panjang, tetap saja udara dingin menghampiri tubuhku. Aku mulai menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk sekedar menghangatkan.
            “Kamu itu terlalu nekad Kalangi.”
Kontan aku menoleh pada seseorang yang menyebut namaku. Astaga! Laki-laki si penghuni toilet itu! Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku harus bertemu beberapa kali dengan orang ini. Memang, mungkin hanya dua kali. Namun, memergoki seorang wanita yang sedang berada di toilet pria, apa itu tidak memalukan? Jelas saja memalukan! Sangat memalukan! Wajar saja aku sangat menghindari pertemuan dengan si laki-laki penghuni toilet ini.
            “Apa maksudmu mengikutiku kemari?”
            “Aku tidak mengikutimu.” Perasaan malu segera merambat di benakku. Harusnya aku menghiraukannya, alhasil sekarang aku semakin dibuat malu olehnya.
            “Nih, untuk menghangatkan badanmu.” Ujarnya. Dia menyodorkan segelas susu coklat. Sial! Itu minuman kesukaanku dan aku tak mungkin menolak. Tapi meskipun itu minuman kesukaanku, aku bukanlah anak TK yang bisa diatur dengan hal-hal kecil yang disukai. Aku tetap waspada.
            “Tidak ada racun, narkoba, ataupun bom. Tenang saja.” Lagi-lagi dia seolah-olah bisa membaca pikiranku.
Karena memang udara semakin dingin, aku tidak mungkin terus berpura-pura. Lagipula, hati kecilku mengatakan laki-laki ini anak baik. Sejauh peristiwa salah toilet, dia tak berani macam-macam. Menyentuhku pun tidak. Dan aku tidak mau mati konyol disebuah warung kopi karena kedinginan.
Kuraih susu coklat itu dan mulai meniupnya secara perlahan lalu menyeruputnya. Begitu hangat.
            “Baru kali ini aku menemukan sebuah warung kopi yang menjual segelas susu.” Ucapku memecahkan suara hujan.
            “Ya, hal yang tak terduga bisa terjadi dimana saja”
            “Seperti sekarang, aku bertemu dengan penghuni toilet yang terus mengikutiku.” Tawa ku getir.
            “Itu kehendak Tuhan, rencana awal Tuhan. Bukan sebuah kebetulan, Kalangi.”
Sekilas kami bertatapan dan sontak tawa kami memecah hujan. Kehangatan menjalar di tubuhku. Sorot mata tajam dan senyum yang terasa….mmm ya aku harus mengakui laki-laki dihadapanku ini memang tampan. Gigi yang berjejer rapi membuat senyumnya semakin memikat. Aku berani taruhan, wanita manapun yang melihat senyumnya pasti akan bertekuk lutut. Postur tubuh yang menjulang tinggi menandakan laki-laki ini pasti sering berolahraga. Begitu professional dan terlihat sangat maskulin.
Perbincangan kami sudah semakin jauh. Jujur aku sangat menikmatinya. Ada rasa nyaman yang terselip saat kami tertawa bersama. Perbincangan itu membawaku pulang ke rumah dengan diantar olehnhya. Ternyata berbincang-bincang dengannya membuatku lupa akan sekitar. Sekitar yang semakin gelap menandakan hari berganti malam.
            “Jadi mulai sekarang aku harus memanggilmu Sam?” Ujarku sembari membuka helm.
            “Yap!”
            “Kedengarannya sedih ya…”
            “Kenapa?”
            “Aku harus merelakan kepergian si penghuni toilet..” Di dalam hati aku sudah berhitung mundur, sebentar lagi helm yang dipegang si penghuni toilet itu akan mendarat di kepalaku. Eh, maksudku Sam.
            “Kalangi bisa kurang ajar juga ya ternyata.” Ujarnya sinis dengan senyum yang merekah. Menandakan bahwa dia memakan umpan candaanku.
Aku berlari dan memasuki halaman rumah.
            “Kalangi.” Teriaknya.
Kontan aku menoleh ke arahnya.
            “Sampai jumpa besok.”
            “Ok, see you again.” Ucapku melempar senyum dan melambaikan tangan.
Hahhhhh! Hari yang takan pernah aku lupakan. Aku terjun bebas ke ranjangku. Begitu menyebalkan dan menyenangkan. Aku selalu percaya dengan pernyataan menderita dan bahagia itu satu paket. Aku mulai memikirkan sejak awal pertemuanku dengan Sam. Sampai jumpa besok? Apa maksudnya? Aku pun terlelap dengan segala pikiranku, ada seulas senyum yang menemani tidurku.

Dering handphone mengusik bunga tidurku. Siapa yang menelponku? Kudapati di luar begitu cerah, segar sekali rasanya. Ternyata sudah jam 7. Aku melirik ponselku yang sedari tadi terus berisik. Nomor tidak dikenal, seperti nomor kantor. Mungkin diantara Ayah atau Bunda menelfon lewat kantor, memberitahuku bahwa mereka sudah tiba di Indonesia. Mereka memang sibuk.
            “Halo.” Kuawali percakapan dengan nada yang masih mengantuk.
            “Kalangi, cepat keluar.” Aku langsung terbelakak, Sam!
            “Misterius sekali memakai nomor kantor.”
            “Aku menelfon di wartel sebrang rumahmu.”
            “Apa?!” Rasa kantuk yang tadinya masih menjalar, hilang seketika.
            “Iya, aku tunggu.”
            “Tapi, aku ada jadwal belajar untuk hari ini.” Protesku.
            “Hari ini giliran aku yang akan menjadi gurumu.”
            “Hah?!!” Aku semakin tidak mengerti apa yang diucapkannya, aku curiga dia mengigau karena efek hari senin. Ya hari senin yang selalu menjadi bahan bully untuk para pelajar.
            “Sudahlah. Kamu cepat bersiap-siap, aku tunggu.”
Terdengar nada putus di ujung telepon. Aku semakin melongo tidak mengerti. Segera kuintip lewat jendela, memastikan bahwa Sam tidak mengerjaiku. Seperti biasa dia selalu tau apa yang aku pikirkan. Lambaian tangan dan senyum yang merekah terlihat di raut wajahnya saat aku mengintip lewat jendela. Sam!!!!!
Aku segera bersiap-siap. Mengguyur tubuhku dengan air dingin. Belum pernah aku mandi sepagi ini. Biasanya aku akan mandi di jam 9. Aku memang tidak seperti anak lainnya, jadwalku sudah ditentukan oleh Dokter. Dokter yang menanganiku. Memang terlihat santai karena aku menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Home schooling, dan asupan pendidikan lainnya dibuat private. Sekedar untuk memanjakan diri seperti halnya di salon pun, dilakukan di rumah.
Balutan kaus panjang membalut tubuhku. Di luar terik… ah sudahlah, hanya sekali saja mungkin tak akan berdampak besar.
            “Kalangi, Kalangi” Terdengar ketukan kaca dari balik jendela. Sam.
            “Ayo cepat.” Ujarnya serasa berusaha menarikku keluar lewat jendela.
            “Jadi, kamu mau mengajakku kabur?”
            “Suttttt! Aku kan sudah bilang, aku kesini akan mengajakmu belajar.” Bisiknya dengan volume nyaris tak bisa aku dengar saking kecilnya.
            “Tapi belajar apa?” Ucapku dengan nada yang meninggi. Bi Ina yang sedang di kebun nyaris menangkap basah kami yang sedang mengendap-endap di balik semak-semak. Dengan sigap Sam membekapku. Terus membekapku hingga kami berhasil kabur.
            “Ayo!” Sam menyodorkan helm.
Aku mencegat tangannya. “Aku belum tahu apa maksudmu ini.”
            “Aku akan mengajakmu ke bazar makanan.” Jelasnya.
            “Dengan membolos sekolah? Mana ada seorang Dokter bolos sekolah.” Sindirku. Cita-cita Sam memang menjadi seorang Dokter. Dokter bedah katanya.
Dia cepat menarikku menaiki motornya, dengan kilat dia sudah menjalankan dengan kecepatan maksimum. Secara refleks aku memegang pinggangnya erat-erat. Awalnya aku memang kesal dengannya, namun entah apa yang membuatku bungkam seperti saat ini.
Panas matahari mulai menyorot tubuhku. Ah, tidak ada apa-apa. Melihat kondisiku seperti ini aku yakin akan baik-baik saja, terlebih aku tidak merasakan apa-apa dengan tubuhku.
Mataku bersinar ketika melihat stand bazar yang berjejer. Aku sangat menyukai tatkala diadakannya bazar makanan. Mengingatkanku pada kota Seoul, Korea. Bedanya, di Seoul biasanya diadakan pada musim dingin, sehingga aku bisa mencicipi semua stand yang ada. Sedangkan di negaraku ini, aku baru akan merasakan. Selalu dan selalu. Faktor iklim yang selalu menghalangiku.
Aku segera menarik tangan Sam untuk bergabung dengan kerumunan orang yang terlihat seperti semut. Aku akan mencicipi semua stand yang ada. Pasti!
            “Kamu menyukainya?”
Aku mengangguk. “Aku tidak akan sehisteris ini jika aku tidak menyukainya, Sam.”
Seulas senyum mengembang di bibir Sam.
            “Ayo kita cicipi semua stand yang ada, jika perlu kita habiskan semua!!!” Teriak Sam dengan tangan dikepal diacungkan ke langit.
            “Pasti!” Balasku semangat.
Aku tak pernah sebahagia ini. Aku memang pernah merasakan rasa bahagia, namun itu hanya selingan. Ketika aku masih kecil. Ketika aku belum mengenal diriku, belum mengenal seluk-beluk yang ada di dalam diriku. Bersamanya, aku merasakan lagi apa itu rasa bahagia. Iya, Sam. Seolah-olah dia mengenalkan kembali apa itu bahagia. Lebih tepatnya dia membawa rasa bahagia itu untukku.
Rasa panas mulai terasa ditubuhku. Sedikit demi sedikit bintik-bintik merah menjalari tubuhku. Aku tahu ini bagian dari dampak penyakitku. Entahlah, untuk saat ini aku tidak mau memikirkan hal itu. Aku terus meyakinkan diriku akan baik-baik saja.
Tak terasa sudah ada bintang di langit. Bintang yang hari ini ditemani bulan, begitu indah.
Selanjutnya, Sam membawaku ke suatu tempat dengan menutup mataku. Padahal aku tahu, dia membawaku ke tepi pantai. Bagaimana tidak? Begitu jelas suara ombak terdengar bergemuruh dan tenang. Dasar Sam. Dia memang tak berbakat jadi pria romantis.
            “Sam….” Aku kaget dengan apa yang aku lihat setelah sadar ternyata Sam sudah membukakan penutup mataku. Gelap!
            “Sam!!!!” Aku mulai berteriak. Ada rasa takut yang aku rasakan.
            “Tenang Kalangi.” Terdengar suara yang berasal dari belakangku.
Terlihat Sam memegangi sebatang lilin merah. Lilin merah yang memancarkan cahaya redup.
Sam meniup lilin itu, dan sebuah kecupan mendarat di keningku.
            “What a wonderful night. I feel like today, and I love you Kalangi.” Suara itu menggetarkan telinga dan hatiku. Aku merasakan begitu hangat dekapan tubuhnya. Seulas senyum mengembang manis di bibirku. Pipiku terasa basah oleh air mata. Ya, air mata bahagia.
            “I love you too, Sammy.” Itulah kata yang terakhir aku ucapkan. Sebelum semuanya menjadi putih.


Kategori: Fiksi.

Burung di Topi Kakek



            Saat ini sekolah sedang libur panjang. Andi berlibur di rumah Kakek di desa. Sudah tiga hari ia disitu. Penuh suka cita, ia membantu Kakek bekerja di kebun setiap hari. Kakek bekerja giat di kebun memakai topi pandan tua. Kata Nenek, topi itu seharusnya dibuang saja. Habis sudah jelek sekali. Banyak sekali lubang di topi itu.
            “Jangan dibuang! Topi ini masih enak dipakai. Aku sangat menyukainya,” kata Kakek saat Nenek akan membuang topi itu.
            Hari semakin siang. Sinar matahari mulai terasa menyengat panas. Kakek berhenti mencangkul. Ia lalu mendatangi pohon mangga di tepi kebun. Dibukannya topi. Diletakkannya di satu cabang pohon itu. Kakek kemudian duduk bersandar di batang pohon melepas lelah.
            Setelah lelahnya lenyap, Kakek kembali meneruskan mencangkul. Ia lupa memakai topinya kembali.
            “Kekkkkkk, istirahat dulu! Makan siang sudah siap, nih!” nenek memanggil dari rumah.
            Kakek dan Andi bergegas masuk ke rumah. Keduanya lalu lahap menikmati hidangan. Seusai itu, Kakek ingat akan topinya.
            “Andi, tolong ambilkan topi Kakek!”
            Andi segera berlari menuju kebun lagi. Tak lama kemudian, ia kemballi sambil berteriak.
            “Kakek, Kekkkkkkk, topi Kakek penuh dengan rumput kering!”
            Bersama Andi, Kakek lalu mendatangi pohon mangga tadi. Waaah, tampak seekor burung murai sedang sibuk membuat sarang di topi itu.
            “Sssssh,” ucap Kakek, “Ayo kita pergi dari sini. Biarkan saja burung itu bersarang di situ.”
            Beberapa hari kemudian, Kakek, Nenek, dan Andi melihat topi itu. Di dalamnya sudah ada dua butir telur.
            “Hihihihi! Topi itu memang cocok untuk sarang burung!’ kata Nenek.
            “Ya, ya, Nenek benar,” tambah Andi.
            “Huh!” dengus Kakek agak kesal.
            “Hihihiihiihii!” Andi dan Nenek tertawa geli.

Oleh: Endang Firdaus. Sumber: Buku Pustaka Ola.

Balon Gas



Suatu hari, Mama menugaskan Asti menjaga Heri. Adik Asti itu masih balita. Mama akan pergi sebentar ke supermarket. Akan tetapi, belum lama Mama pergi, Heri mulai rewel mencari Mama. Asti berusaha membujuknya.
“Kita main mobil-mobilan, yuk. Nih, ada truk, sedan, bisa nguuuuuung!” ajak Asti.
“Enggak mau. Heri mau sama Mama,” rengek Heri.
“Iya sabar, sebentar lagi juga Mama pulang,” hibur Asti lagi.
“Tapi Heri maunya sekarang,” Heri tetap merengek. Asti jadi bingung.
Tiba-tiba, di depan rumah ada pedagang balon gas melintas. Asti segera memanggilnya. Ia membeli tiga balon gas, merah, kuning, dan hijau. Heri pun berhenti menangis. Heri lalu asyik bermain balon sampai lelah. Ia akhirnya tertidur pulas di sofa. Ketiga balon gasnya dibiarkan melayang di atap ruangan. Asti memindahkan Heri ke kamar.
Kini Asti sendirian. Ia mulai bosan karena tidak punya teman bermain. Asti menatap ketiga balon gas yang melayang-layang. Mendadak Asti tersenyum. Sepertinya ia menemukan ide yang menarik.
            Asti mengambil pulpen dan secarik kertas. Di atas kertas itu, Asti menulis:
            Hai, namaku Asti Pujiastuti. Umurku sepuluh tahun. Alamat rumahku, Jl. Teratai no.25     Komp. Indah permai. Siapa yang menemukan balon gas ini, maukah jadi temanku? Kita bisa bersahabat pena.
            Asti mengikatkan kertas itu pada tali balon gas berwarna hijau. Kemudian, ia melepaskan balon itu di halaman. Balon gas itu terbang melayang di angkasa terbawa angin. Asti berharap di dalam hatinya ada anak sebayanya menemukan balon itu.
            Tiga hari kemudian, Asti mendapat sepucuk surat dari pak pos. Pengirimnya bernama Doni. Rumahnya cukup jauh dari rumah Asti. Di dalam suratnya, Doni bercerita kalau ia menemukan balon hijau itu di lapangan ketika ia sedang bermain bola. Doni lalu berkirim surat pada Asti, karena usia mereka sebaya.
            Asti sangat gembira. Ternyata mencari sahabat pena lewat balon gas seru juga. Doni lalu datang ke rumah Asti, bersama mamanya. Sampai sekarang mereka bersahabat. Mama Asti mengingatkan juga, agar Asti berhati-hati kalau mencari sahabat lewat balon gas. Belum tentu orang baik yang menemukan balon itu. Asti merasa beruntung karena Doni yang menemukan balon gasnya.


Oleh: Yoga T. Sumber: Buku Pustaka Ola.